Sebuah Pandangan tentang Kaderisasi HME

Kali ini saya akan mencoba berbagi sedikit pandangan tentang bagaimana idealnya kaderisasi di HME. Saya memang bukan orang yang terbaik dan paling punya kapabilitas tentang hal ini, tapi setidaknya saya pernah menjalaninya baik sebagai peserta ataupun sebagai panitia. Dan menurut saya, perlu ada banyak perbaikan menuju kaderisasi HME yang semakin ideal. Apa yang akan saya tuliskan disini sudah pernah saya sampaikan saat LPJ Masa Bina Cinta (MBC) ataupun saat hearing calon ketua MBC, tapi alangkah baiknya jika saya tuliskan kembali supaya tetap abadi.

hme.jpg (234×283)
Sumber : http://hme.ee.itb.ac.id


Oke, kita mulai dengan bagaimana kondisi yang ada. Banyak pihak yang memberikan pujian dan apresiasi terhadap HME karena sistem kaderisasinya yang dianggap bagus. Saya pernah mendengar sendiri pujian ini. Menurut mereka, hal ini terlihat dari banyaknya massa HME yang hadir saat kegiatan supporteran dan banyaknya karya-karya keprofesian serta pengabdian masyarakat yang telah dihasilkan HME, seperti PALAPA. Di satu sisi ada kebanggaan tersendiri buat saya, tapi di sisi lain saya menganggap bahwa pujian ini terlalu berlebihan karena sebenarnya banyak masalah dari kaderisasi di HME.

asa-300x225.jpg (300×225)


PALAPA dan juara KRI-KRCI, dua bukti kesuksesan kaderisasi HME ITB
(Sumber : http://hme.ee.itb.ac.id  dan http://gautamakarisma.wordpress.com )  



Masalah utama yang ada di HME adalah tidak berjalannya kaderisasi berjenjang. Massa HME terlalu fokus mengurusi kaderisasi eventual terutama MBC, tapi kita melupakan kaderisasi yang bersifat kultural. Padahal kaderisasi kultural ini adalah kunci utama untuk menjalankan kaderisasi yang berjenjang. Semua yang bersifat eventual hanya akan memberikan efek yang sesaat dan semu, begitu pula dengan kaderisasi. Mungkin awalnya para anggota yang baru dilantik merasa bangga dan bersemangat, namun setelah itu mereka banyak yang akan menghilang karena kultur yang ada tidak membuat mereka nyaman dan menjadi berkembang.


Karena itu, menurut saya ada perubahan yang mulai harus coba diterapkan sejak saat ini. Pertama, ubahlah paradigma tentang kaderisasi. Tidak selamanya kaderisasi eventual yang lama itu memberikan hasil yang bagus. MBC tidak perlu dibuat terlalu lama, lebih baik singkat padat dan jelas serta memberikan impresi yang baik bagi calon anggota baru. Tidak semua nilai perlu diturunkan saat MBC, tapi ada skala prioritas yang harus dibuat agar MBC berjalan efektif. Saya pernah merasakan bagaimana merancang MBC dengan waktu yang lama, dan saya harus mengakui bahwa kerugiannya terlalu banyak jika waktunya dipaksa untuk lebih lama. SDM sulit untuk dicari, kepentingan dengan acara-acara lain seperti OSKM ataupun acara besar HME, dan juga tantangan-tantangan lainnya adalah kendala yang akan menghambat MBC jika dijalankan terlalu lama. Mungkin akan ada yang mendebat tentang perubahan ini, tapi saya katakan bahwa dengan sistem seperti ini ada sebuah momentum untuk bisa menjalankan kembali kaderisasi berjenjang yang efektif. Buatlah LKO sedekat mungkin dengan MBC, sehingga para anggota baru tidak merasa “menganggur” begitu mereka selesai MBC. Nilai-nilai lain yang tidak sempat diturunkan di MBC bisa dicoba untuk disampaikan di LKO sebagai bagian dari kaderisasi berjenjang ini. Selain itu, maksimalkanlah kaderisasi kultural dalam kehidupan sehari-hari mereka di HME sehingga para anggota baru tetap terjaga baik secara kualitas maupun dari keberadaan mereka. Pastikan bahwa BP HME ITB menjamin kesiapan sistem di HME. Jangan sampai terjadi kondisi dimana MBC yang sebentar dan menghasilkan output yang bagus malah tidak ditunjang oleh sistem HME yang tidak siap.


Perubahan seperti ini sulit, tapi jika ini berhasil maka akan ada perbaikan secara menyeluruh tidak hanya dari sistem kaderisasi di HME tapi juga keberjalanan BP HME ITB secara keseluruhan. Pembekalan anggota baru untuk menjadi staff BP menjadi lebih dini sehingga lebih bisa menjangkau anggota yang lebih banyak, tidak seperti selama ini dimana LKO selalu sepi peminat. Agenda HME pun menjadi lebih nyaman karena ada slot waktu yang bisa dimanfaatkan untuk event lain di awal kepengurusan baru. Pendekatan secara kultural pun akan membuat anggota baru menjadi lebih dekat dengan massa HME yang sudah senior sehingga suasana kekeluargaan pun makin terasa.


Cukup sekian sedikit pemaparan dan angan-angan saya akan perbaikan sistem di kaderisasi HME. Sekali lagi, saya bukanlah orang yang paling pintar untuk urusan ini, tapi ini semua saya tulis karena saya cinta HME dan saya ingin HME saya terus berjaya, sekarang dan selamanya. OK CHAMP!

IMG_1024-1.jpg (640×426)
Sumber : http://www.indoflyer.net

Berawal Dari Kesederhanaan

Sesuatu yang besar memang selalu berawal dari hal kecil. Kecil disini bisa diintepretasikan macam-macam. Bisa berarti simpel, sederhana, mudah, ataupun memang kecil secara ukuran. Untuk bisa menjelaskan hal ini dengan versi saya, saya mencoba mengambil tiga contoh yang sudah erat dengan kita : Google, BlackBerry, dan Twitter. Mengapa ketiga hal tersebut? Tentunya kita bosan jika memakai contoh yang itu-itu saja, jadi boleh lah ya memakai contoh yang lain 🙂

Pertama adalah Google. Siapa sih yang tidak kenal dengan mesin pencari yang satu ini? Buat sebagian orang (termasuk saya) Google adalah solusi atas berbagai masalah yang kita hadapi. Tinggal ketikkan keyword dan voila! Ada beribu-ribu pilihan jawaban yang bisa kita ambil dan lihat. Hampir semua masalah bisa disediakan solusinya oleh Google. Begitu hebatnya Google sampai-sampai mungkin saja ada yang menganggap Google sebagai Tuhan. Sekali lagi, mungkin lho. Semoga saja iman kita cukup kuat sehingga tidak berpikir demikian, hehehe. Tapi sebenarnya yang menarik dari Google adalah kesederhanaan dan kesimpelannya. Ide dasar dari Google adalah membuat sebuah portal pencari dimana orang cukup memasukkan kata atau kalimat tertentu yang dicari dan kemudian akan dimunculkan hal yang dicari tersebut. Sesuatu yang sederhana namun cukup membantu para penggunanya bukan? Namun berkat kesederhanaannya, Google sekarang meraih kesuksesan yang luar biasa. Layanan Google pun sudah meluas ke berbagai hal dan semakin menjadi pilihan bagi masyarakat untuk mempermudah aktivitas mereka. Semua hanya berawal dari sebuah mesin pencari.

Google Logo
Anda bertanya, Google punya jawabannya.
Setelah Google, mari beralih ke BlackBerry. Smartphone yang satu ini termasuk salah satu yang paling sukses di pasar seluler dunia. Bahkan di Indonesia pengguna BB saat ini adalah yang terbanyak di Asia Tenggara yaitu sekitar tiga juta pelanggan. Bandingkan dengan Malaysia yang hanya setengah dari pengguna di Indonesia. Begitu suksesnya BlackBerry sampai-sampai banyak yang meniru desain qwerty ala BB. Lantas apa yang membuat BlackBerry begitu sukses? Ternyata kuncinya ada di kemudahan dan kesederhanaanya. BlackBerry menawarkan sebuah handset yang simple karena menyatukan semua layanan dalam satu device, seperti push e-mail, Yahoo! Messenger, Windows Live, dan BlackBerry Messenger. Bahasa sederhananya : All in One. Dengan koneksi internet yang bagus, maka semua paket tersebut semakin memanjakan para pengguna telepon seluler di Indonesia yang kebanyakan merupakan pengguna layanan-layanan diatas. Ide yang sederhana bukan? Tapi dari kesederhanaan itu bisa dilihat kesuksesan dari BlackBerry. 

All-in-One Device : BlackBerry.
Yang terakhir adalah twitter. Social networking yang satu ini sudah menjamur dimana-mana. Bahkan si burung biru yang satu ini menjadi senjata andalah untuk mempromosikan ponsel-ponsel yang baru rilis dengan fitur-fitur untuk bisa nge-tweet dengan mudah. Banyaknya pengguna smartphone juga semakin membuat twitter meroket dan meraih sukses besar. Selain itu makin banyak juga pengembang yang membuat aplikasi twitter client bagi mereka yang ingin merasakan tampilan baru saat nge-tweet. UberMedia menjadi salah satu perusahaan yang terdepan dalam hal ini, dengan produk andalannya yaitu UberSocial. Lantas apa kunci sukses dari twitter? Seperti dua hal yang sudah dibahas sebelumnya, ide yang simpel dan sederhana menjadi kuncinya. Konsepnya sebenarnya mudah : anda nge-tweet, muncul di timeline, orang lain bisa me-reply ataupun retweet jika suka dengan pendapat anda. Sekali lagi, justru kesederhanaan inilah yang membuat twitter sukses dan belum bisa disaingi oleh kompetitor sejenis macam koprol ataupun plurk. Satu lagi bukti dari kesederhanaan yang berbuah kesuksesan.

Sarana berkicau paling menyenangkan.

Inti dari ketiga hal diatas hanya satu : Semua berawal dari ide yang sederhana, sesuatu yang kecil namun memberi dampak yang besar. Ini penting, karena terkadang kita terlalu berkutat mencari-cari apa hal besar yang bisa kita lakukan, padahal banyak juga hal kecil yang berdampak besar. Kapasitas sebagai mahasiswa mungkin membuat kita belum bisa melakukan hal besar, namun kita melakukan sesuatu yang sederhana dan berdampak nyata bagi sekitar kita. Saatnya kita berkarya dan melakukan perubahan sekecil apapun untuk Indonesia. Kita pasti bisa!

SWASTAH!

Kemarin, senin 8 Agustus 2011, adalah hari pertama saya dan teman-teman angkatan 2008 menjadi mahasiswa tingkat 4, yang di kampus saya lebih dikenal dengan sebutan SWASTA (Mahasiswa Tingkat Akhir). Sebuah sebutan yang membanggakan? Tergantung siapa yang ditanya dan bagaimana memandangnya. Jika yang ditanya adalah aktivis kampus yang sering muncul di forum-forum massa yang menurut saya identik dengan pencitraan, maka menjadi SWASTA adalah sebutan yang keren. Karena biasanya semakin tua tingkatan mahasiswa maka semakin disegani dan dikagumi pula mahasiswa tersebut. Orang ini bisa dipandang sebagai orang yang bijak, berwawasan luas, dan sebagainya. Namun jika yang ditanya adalah orang yang biasanya lebih banyak santai ataupun main-main saja, maka SWASTA mungkin adalah sebutan yang menakutkan. Mengapa? Karena menurut dia sepertinya dia belum mendapat ilmu apa-apa dan belum ada sesuatu berarti yang sudah dilakukan tapi waktu berjalan terlalu cepat sehingga saat-saat dia berada di kampus ini pun tidak lama lagi. Belum lagi jika beban sks yang harus dipenuhi masih banyak, tentunya hal ini makin menjadi beban yang berat.


Saya sendiri lebih melihat diri saya sebagai orang yang ada di tengah-tengah. Harus diakui SWASTA adalah sebutan yang keren dan sangar karena menunjukkan kedewasaan dan banyaknya pengalaman yang sudah dilalui di kampus ini. Namun di sisi lain ini menjadi beban juga buat saya, karena secara pribadi saya masih belum memiliki gambaran yang jelas tentang apa yang harus saya lakukan begitu saya benar-benar meninggalkan kampus ini. Pertanyaan “Mau ngapain abis lulus?” sungguh menghantui pikiran saya akhir-akhir ini sehingga membuat saya galau. Tidak mudah mencari jawabannya, karena saya tidak ingin main-main dengan masa depan saya. Saya ingin menjalani sesuatu yang saya sukai dan saya cintai. I have to find my passion ASAP.


Karena itu, selama satu tahun ini saya sudah memasang target penting : mencari tahu apa yang sebenarnya harus saya lakukan setelah saya lulus. Buat saya, tidak ada gunanya ketika saya lulus namun hanya menjadi pengangguran dan beban orang tua. Ayah dan Ibu saya menyekolahkan saya bukan untuk itu, namun untuk menjadi kebanggaan mereka. Lebih jauh lagi, untuk menjadi solusi atas permasalahan bangsa. Karena itu, dengan mengetahui apa yang saya cintai maka saya akan bisa menjadi solusi dari masalah bangsa dan bisa membuat bangsa ini sedikit lebih baik.


Bismillah. Semoga saya bisa mendapat jawabannya. Buat anda yang juga melakukan hal yang sama, semoga berhasil!

Curhat Pagi-Pagi : Mengingat Kembali Mengapa Saya Disini

Tuhan memang paling mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Setidaknya hal ini mungkin menjadi hal yang coba untuk terus saya yakini hingga saat ini. Menarik memang ketika kita diberikan jalan yang sungguh tak terduga dan mungkin di luar nalar kita. Mungkin saya adalah salah satu yang mendapat jalan yang agak aneh tersebut.


Dulu saat saya masih SMP, sekolah saya memiliki mata pelajaran muatan lokal (mulok). Ada dua mata pelajaran yang termasuk mulok ini, yaitu Tata Busana dan Elektronika. Pelajaran Elektronika ini diajar oleh Pak Heri Purnomo yang juga mengajar fisika untuk kelas 3. Beliau termasuk guru yang suka memberi ujian mendadak sehingga para siswa dituntut untuk selalu belajar dan mempersiapkan diri. Permasalahannya adalah, pelajaran Elektronika ini termasuk banyak hapalannya. Hitungannya tidak terlalu banyak dibanding yang saya pelajari di bangku kuliah. Dan saya sangat payah dalam urusan menghapal. Dua kondisi tadi membuat saya cukup kewalahan menghadapi pelajaran ini.


Suatu hari saat saya masih kelas 1, seperti biasa Pak Heri masuk dan mengadakan ujian mendadak. Sepuluh soal essay kalau saya tidak salah. Walaupun sudah ada sedikit persiapan, tetap saja saya kewalahan dalam mengerjakannya. Petaka pun datang saat ujian tersebut. Ketika Pak Heri sedang keluar, saya yang kebetulan duduk di paling depan ditanya oleh teman yang ada di belakang saya, dan entah kenapa saya tetap melihat ke belakang setelah beberapa lama. Mungkin saya saat itu cukup desperate juga dan akhirnya mencoba melihat jawaban teman saya itu. Tiba-tiba Pak Heri telah masuk dan menunjuk-nunjuk serta meneriaki saya yang telah tertangkap menyontek. Ah, saya masih bingung juga apakah itu termasuk menyontek atau tidak. Yang jelas saya telah tertangkap basah. Segera setelah itu, saya diminta berdiri di depan kelas dan kertas ujian saya dirobek-robek di depan mata saya dan disaksikan teman-teman sekelas. Saya shock.


Sejak saat itu di otak saya jadi terbangun semacam sugesti bahwa pelajaran ini sulit dan menjadi pelajaran yang tidak saya sukai. Kesialan saat pelajaran ini pun menjadi hal yang sulit dihindari. Dan benar saja, saya pun mengalami hal buruk berikutnya saat berurusan dengan pelajaran ini. Entah berapa lama setelah insiden menyontek itu, tapi yang jelas saat itu saya masih di kelas 1. Kejadiannya ketika saya sedang praktikum. Ketika itu kami mendapat tugas membuat adaptor. Segala komponen sudah disiapkan dan kami tinggal menyolder saja. Dan karena berpasangan maka hal ini jadi tidak terlalu sulit. Singkat cerita, adaptor yang saya buat telah jadi, tinggal diujicobakan di depan Pak Heri kemudian diberi kotak. Namun karena sedang ramai, akhirnya saya memilih untuk mencobanya sendiri. Setelah dicolok, saya kegirangan karena lampu indikator di adaptor menyala. Namun kemudian terlihat percikan listrik dan terdengar suara “boom!”. Adaptor saya meledak dan listrik setengah sekolah mati. Usut punya usut, ternyata ada serabut sisa kabel yang menempel di atas trafo, sehingga hal tersebut membuat adaptor meledak. Well, kisah selanjutnya sudah pasti bisa ditebak. Saya kembali dimarahi dan diusir dari lab untuk mencari petugas yang bisa menyalakan listrik kembali. Saya shock. Untuk kedua kalinya. Tapi untuk yang ini memang bisa dimaklumi kalau saya membuat kesalahan fatal yang bisa berbahaya bagi keselamatan.


Dua kejadian diatas rasanya cukup untuk membuat saya berkomitmen bahwa saya tidak mau berurusan dengan elektronika lagi. Saya agak lupa juga, tapi rasanya saya memang berkomitmen seperti itu. Itulah mengapa ketika saya melihat lagi diri saya saat ini saya merasa bingung sendiri. Mengapa saya sekarang berada di Teknik Telekomunikasi ITB? Bukan teknik elektro sih, tapi tetap saja berada dalam satu rumpun keilmuan yang sama. Teman SMP saya pun ada yang heran ketika saya diterima di STEI ITB mengingat saya punya pengalaman buruk yang telah disebutkan diatas tadi. Yah, mungkin kedua kejadian ini adalah pertanda bahwa saya memang harus masuk jurusan ini. Atau mungkin saya adalah korban kesekian dari sistem pendidikan kita yang tidak membuat siswa mengetahui apa yang mereka inginkan. Atau mungkin memang saya belum tahu apa mimpi saya. Entahlah. Bisa jadi ini memang rencana Tuhan kepada saya. Sekarang saatnya mencari tahu kembali, apa sebenarnya yang Tuhan rencanakan untuk saya. Mencari tahu apa sebenarnya passion saya, sesuatu yang sungguh membuat saya bersemangat. Semoga memang ini yang terbaik. Dan kalaupun bukan ini yang terbaik, semoga ada hikmah dari segala yang saya jalani disini. 

Besar Mobil Daripada Tempat Parkirnya

            Hari ini seperti biasa saya harus ke kampus untuk mengikuti perkuliahan. Namun tidak seperti hari-hari biasanya yang cukup padat, kuliah yang saya ikuti hari ini hanya satu jam saja, jam 11 hingga jam 12. Karena itu saya berangkat sedikit lebih siang. Namun jika biasanya saya agak mepet saat berangkat, kali ini saya berangkat lebih awal yaitu sekitar pukul 10.20, dengan harapan mungkin saya bisa mampir ke sekre himpunan sejenak untuk bercengkerama dengan teman-teman. Namun apa daya, ternyata hal itu tidak bisa saya lakukan.
                Mengapa demikian? Ini dikarenakan saya harus menghabiskan lebih dari 20 menit hanya untuk mencari tempat parkir yang kosong. Biasanya bahkan ketika saya jauh lebih terlambat dari sekarang saya masih bisa mendapat tempat parkir. Namun kali ini sepertinya saya sedang sial. Semua tempat terisi penuh. Fully-Booked. Memang ada beberapa slot yang kosong, tapi tempat itu diberi penghalang sehingga tidak bisa sembarang orang parkir disitu. Sepertinya ada yang sudah membayar lebih kepada si tukang parkir sehingga mereka bisa diberi tempat khusus. Ah, sungguh tidak adil buat orang dengan ongkos pas-pasan seperti saya.

                Saya harus berkeliling beberapa kali untuk benar-benar memastikan bahwa saya tidak mendapat tempat parkir. Mungkin kalau saya berkeliling tujuh kali sudah bisa dianggap tawaf kali ya. Sayangnya hanya kekesalan yang didapat, bukannya pahala. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.40 namun saya belum mendapatkan tempat parkir juga. Saya bingung. Namun tiba-tiba saya teringat sebuah tempat : SARAGA. Sebuah solusi yang datang di saat yang tepat. Akhirnya saya langsung tancap gas menuju kesana dan saya lega karena masih ada banyak tempat parkir yang bisa ditempati. Alhamdulillah.

                Kondisi seperti ini tentu bukan yang pertama kali terjadi dan mungkin bukan hanya saya yang pernah mengalaminya. Saya yakin banyak mahasiswa ITB yang akhirnya harus membuang-buang waktu dan mungkin akhirnya tidak bisa masuk kelas hanya karena terlambat karena tidak mendapatkan tempat parkir. Lantas apa yang harusnya dilakukan? Solusi seperti apa yang bisa menjawab masalah ini?

                Dari diskusi dunia maya yang sempat saya lakukan, saya melihat beberapa alternatif solusi. Solusi-solusi tersebut antara lain :
1.       Menyediakan tambahan lahan parkir. Ini bisa dibilang solusi yang paling mudah, karena kita selaku pengguna kendaraan tidak perlu berbuat apa-apa. Solusi ini juga menunjang fakta bahwa jumlah kendaraan di ITB meningkat secara eksponensial (sotoy mode on) sedangkan lahan parkirnya konstan. Namun solusi ini jelas tidak masuk akal. Harga tanah sudah mahal, apalagi di Bandung. Dan entah dimana tanah yang layak untuk bisa dijadikan tempat parkir untuk ITB. Kalaupun ada mungkin letaknya sangat jauh. Lantas buat apa bawa mobil ke kampus?
2.       Mengurangi jumlah kendaraan. Apa maksud solusi ini? Apakah kita harus menjual mobil kita sehingga jumlah mobil menjadi berkurang? Tentu saja tidak. ‘Mengurangi’ disini berarti membatasi jumlah pemakaian kendaraan kita. Untuk sejumlah kondisi alangkah baiknya jika kita tidak perlu memakai kendaraan ke kampus. Contoh kasusnya adalah seperti yang saya alami. Jika hanya ada satu jam kuliah dan dirasa tidak akan berlama-lama di kampus lebih baik naik kendaraan umum saja, karena akan jadi lebih murah. Atau ketika kuliah baru dimulai siang hari, bisa dibilang lahan parkir sudah sangat sulit jadi lebih baik langsung saja naik kendaraan umum.
3.       Membenahi sistem transportasi di Bandung. Solusi ini mungkin tidak bisa dilakukan langsung oleh kita sebagai mahasiswa, karena lingkupnya pun lebih bisa dilakukan oleh para stakeholder. Namun kita bisa memberikan alternatif-alternatif solusi sistem transportasi yang cocok dan bisa menyelesaikan masalah kepadatan kendaraan di Bandung. Perbaikan pada sarana transportasi umum dan membuat sistem transportasi massa bisa menjadi solusi untuk bisa mendorong warga Bandung (terutama mahasiswa) bisa beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Mungkin teman-teman di jurusan Teknik Sipil ataupun Planologi punya dasar keilmuan yang lebih kuat untuk bisa menjawab permasalahan ini.
4.       Membentuk komunitas NEBENG. Ini solusi alternatif yang bisa dibilang menarik. Solusi ini sudah diterapkan di Jakarta dan sudah memiliki banyak sekali anggota. Mungkin tidak menyelesaikan permasalahan secara utuh, namun bisa cukup membantu mengurangi kepadatan jumlah kendaraan di Bandung. Konsep NEBENG ini bisa diterapkan pada sejumlah mahasiswa pada satu rumah kost yang semua berkuliah di ITB. Daripada semuanya menggunakan mobil pribadi sendiri-sendiri, alangkah baiknya jika hanya satu mobil saja yang digunakan dan yang lain nebeng. Banyak teknis lain yang bisa diterapkan, dan menurut saya ini sangat mungkin diterapkan kepada mahasiswa ITB.
                Kira-kira empat solusi ini yang bisa dikedepankan untuk saat ini. Sekali lagi, mungkin tulisan ini bisa dibilang sok tau karena saya bukan orang yang memiliki latar belakang keilmuan ini. Mungkin saya juga dibilang tocab karena belum bisa menerapkan solusi-solusi yang saya terapkan. Tapi buah pemikiran ini bisa menjadi awal yang baik untuk kita berpikir bahwa ada sebuah masalah sederhana tapi nyata yang ada di sekitar kita. Dan kini saatnya menjadi solusi bagi lingkungan sekitar kita.
                Hanya sebuah pemikiran sederhana dari kaleng-kaleng kampus Ganesha.