Masa Depan yang Tak Terbayang

Ini tulisan kedua saya hari ini. Itung-itung menutupi hutang saya karena dua hari kemarin tidak menulis. Tapi tulisan saya kali ini lebih banyak seperti curhat saja. Mudah-mudahan tetap berkenan untuk dibaca.


Jika ditanya tentang masa depan, mungkin saya adalah satu dari sedikit (atau mungkin banyak?) orang yang kebingungan dalam menjawabnya. Sungguh, pertanyaan seperti “kapan lulus?”, “abis lulus mau ngapain?”, “mau kerja dimana abis ini?”, “kerja atau S2?” sungguh membuat saya waswas dan khawatir. Bagaimana tidak, disaat orang-orang sudah tahu apa yang ingin dia lakukan setelah lulus, saya bahkan seperti kehilangan arah karena tidak tahu mau kemana. Selama ini saya cenderung punya pattern yang pasti, seperti masuk kelas unggulan di SMP, menargetkan masuk SMA 8 setelah lulus SMP, lalu masuk jurusan IPA, lalu masuk ITB dan STEI, kemudian masuk Teknik Telekomunikasi. Tapi kini, untuk pertama kalinya saya blank. Saya seperti menghadapi sebuah awan hitam nan gelap yang tidak bisa saya tembus. Saya tak bisa melihat apa yang sebenarnya ada dibalik awan itu, sehingga saya pun ragu dan bingung untuk melangkah.


Secara pribadi, saya merasa agak sedikit terbebani dengan latar belakang keluarga besar saya, terutama dari Ayah saya. Semua paman saya punya latar belakang akademis yang meyakinkan, bahkan 2 orang bisa dibilang orang yang cukup terkenal di Indonesia. Anak-anaknya pun (sepupu-sepupu saya) juga tak kalah hebat dari sisi akademis. Saya tak ada apa-apanya dibanding mereka. Dari sisi Ibu saya sebenarnya tak terlalu berbeda jauh, ada juga yang punya pendidikan tinggi hingga ke luar negeri. Itulah mungkin yang membuat kedua orang tua saya secara tidak langsung ingin agar saya sebagai anak pertama untuk segera lulus dan melanjutkan pendidikan S2 di luar negeri atau bekerja saja daripada berlama-lama di kampus.


Tapi entah kenapa saya pribadi merasa berat dan tidak yakin, karena saya sendiri belum tahu apakah akan tetap di bidang ini (telekomunikasi) atau banting setir ke bidang lain. Berpikir untuk segera lulus pun sebenarnya tidak. Saya menargetkan lulus Oktober, namun progres tugas akhir pun masih sangat jauh dari memuaskan. Terbesit juga pikiran untuk mencari pengalaman baru seperti menjadi volunteer sejumlah event ataupun ikut berbagai seminar dan mencoba part-time job. Ada juga keinginan untuk melakukan self-improvement seperti kursus bahasa inggris, belajar fotografi, ataupun desain grafis. Karena saya pribadi merasa saya tak punya cukup kemampuan yang bisa membuat saya survive di dunia nyata setelah saya lulus nanti. Namun semuanya masih tahap rencana.


Tulisan ini sebenarnya hanyalah sebuah ungkapan kebingungan dan keraguan tentang masa depan. Masa depan yang sungguh tak terbayang buat saya. Dan  sampai saat ini menulis adalah satu-satunya hal yang menyenangkan buat saya, terlepas dari sangat berantakannya tulisan saya. Karena itulah saya senang dan berusaha untuk terus produktif di pekerjaan kecil-kecilan yang saya punya sebagai kontributor salah satu majalah baru di ITB. Mudah-mudahan ini adalah awal menuju ditemukannya passion diri saya, karena sejujurnya saya sudah lelah hidup tanpa arah dan keragu-raguan.

Temple Run Berlari ke Android!

2106518-1033_1_temple_run_large.jpg (300×300)
Temple Run, game super adiktif yang akhirnya merambah Android
sumber gambar : giantbomb.com

Satu lagi aplikasi menarik yang merambah ke Android. Temple Run namanya. Mungkin game ini sudah tidak asing lagi di mata para pengguna iPad, karena game ini bisa dibilang adalah salah satu top game yang ada di iTunes Store selain Angry Birds dan Fruit Ninja. Cara bermainnya sendiri cukup sederhana, kita mengontrol seorang karakter yang berusaha lari dari kejaran hewan-hewan liar. Tapi kita tidak hanya sekedar lari karena banyak sekali rintangan yang dihadapi, seperti pohon besar, jalan berlubang dan berbelok, ataupun palang pintu. Tugas kita hanya satu, bagaimana caranya agar kita bisa berlari sejauh mungkin dan mendapatkan koin sebanyak-banyaknya serta meraih skor setinggi mungkin. Simpel sekali bukan?

Konsep game ini mengingatkan saya kepada game Pepsi Man, sebuah permainan klasik yang ada di PS One. Bedanya, di game Temple Run ini tidak ada stage-stage yang harus diselesaikan. Kita hanya perlu menyelesaikan sejumlah objective agar bisa mendapat multiplier sehingga skor kita bisa bertambah makin cepat. Selain itu jumlah koin yang kita dapatkan bisa ditukarkan dengan sejumlah kekuatan untuk membantu kita meraih skor yang makin tinggi, seperti lari super cepat ataupun sayap agar ketika mati bisa hidup kembali. Sungguh mengasyikkan bukan?

Seperti halnya Instagram, game Temple Run ini sangat dinanti-nanti oleh para pengguna Android karena sungguh sangat adiktif. Dan akhirnya setelah menunggu cukup lama, game ini sudah bisa dinikmati para pengguna Android pada 27 Maret lalu. Saya pun sudah mencobanya di sejumlah tablet PC, berhubung ponsel saya tidak mumpuni untuk memainkan game ini. Dan seperti yang sudah saya katakan, game ini sungguh adiktif dan membuat saya tak bisa berhenti memainkannya. Jadi buat kalian yang belum mencoba, selamat bermain Temple Run! Hati-hati ketagihan!