
Ilustrasi gambar via kompas.com
Tiga bulan ke belakang, saya melakukan aktivitas rutin saya di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Mengingat saya tinggal di Kalibata, maka opsi menggunakan commuterline menjadi pilihan saya. Rute perjalanan saya sendiri tidak sulit dan tidak perlu banyak berpindah. Cukup jalan kaki dari rumah ke stasiun Kalibata, lalu naik commuterline sampai Tebet, dan kembali berjalan kaki sampai tujuan. In total, biasanya saya menghabiskan waktu sekitar 30 menit door-to-door. Dengan biaya hanya 3000 rupiah untuk ongkos commuterline, saya rasa rute ini cukup worth untuk dilakukan. Apalagi, dua tahun ke belakang saya sudah cukup biasa berjalan kaki ataupun naik sepeda dari rumah ke kampus ataupun di area kampus. Jadi, no problem lah untuk jalan jauh 😀
Tapi rute ini memang cukup tricky, terutama kalau jam pulang kantor. Jika saat berangkat biasanya commuterline sudah lebih manusiawi (saya berangkat sekitar 08.30), saat pulang justru keganasannya memuncak karena penuhnya tiada terkira. Makin parah jika pada akhirnya ada commuterline yang mengalami gangguan, maka yang terjadi adalah penumpukan penumpang yang membuat kita mengelus dada sambil harap-harap cemas, bertanya dalam hati “kapan ya bisa sampai rumah?” 😦
Jika kondisi sudah seperti ini, biasanya saya memilih untuk membuka ponsel saya dan masuk ke aplikasi ojek online yang saya punya. Istilah kerennya, peer-to-peer ridesharing services, sebagai bagian dari sharing economy. Harganya memang jadi lebih mahal dibanding naik commuterline, dan terkadang waktu tempuh jadi lebih lama juga dibanding naik commuerline dalam kondisi normal, tapi saya pikir daripada tidak jelas kapan sampai di rumah, lebih baik opsi ini yang diambil. Terima kasih Uber, Go-Jek, dan Grab yang sudah menemukan inovasi yang mengubah hidup kita ini!
Bicara soal sharing economy, ada fenomena menarik yang sering saya perhatikan selama saya pergi dari rumah ke tempat aktivitas saya ataupun sebaliknya. Di sekitar stasiun, ataupun area publik, saya selalu melihat para driver dari ridesharing service provider tersebut duduk bergerombol sambil bercengkerama, main kartu, ataupun minum kopi. Mereka menghabiskan waktu sambil menunggu order datang ke ponsel mereka. Bagaimana kalau mereka tak kunjung dapat order? Mungkin mereka akan terus menunggu, atau jika sudah menyerah, akhirnya pergi ke tempat lain yang lebih ramai.
Fenomena ini menarik menurut saya, karena ide dasar dari sharing economy dan collaborative consumption berawal dari banyaknya resource kita yang menganggur atau tidak terutilisasi dengan baik. Hal ini memunculkan ide untuk membuka akses terhadap resource yang kita miliki kepada orang lain agar lebih memberikan nilai tambah bagi kedua belah pihak. Si pemilik barang bisa mendapat pemasukan tambahan dengan melakukan sharing resource, dan si pengguna barang bisa menggunakan barang yang dibutuhkan dengan harga terjangkau. Selain itu, dalam konteks ridesharing praktik semacam ini menawarkan fleksibilitas kepada para driver sehingga mereka bisa tetap produktif dalam mengutilisasi waktu mereka sambil tetap mendapatkan penumpang.
Nah, apabila kita membenturkan konsep sharing economy ini dengan fenomena yang saya sebutkan sebelumnya, maka kita akan menemukan sedikit keanehan. Mengapa? Karena alih-alih memanfaatkan waktu kosong mereka dengan melakukan aktivitas produktif lainnya, mereka justru menghabiskan waktu mereka menjadi full-time driver dan lebih banyak menunggu order masuk saja. Masalah lain, banyaknya driver dari ridesharing services yang berkumpul di berbagai titik di sekitar stasiun membuat pengguna jalan yang lain (e.g. mobil atau pejalan kaki) menjadi terganggu karena lahan mereka terambil oleh para driver ini. Akibatnya, muncul kesan tidak rapi dan tertib sebagai dampak dari aktivitas mereka.
Menariknya lagi, ada cerita bahwa di Jakarta sejumlah orang justru membeli kendaraan untuk bisa menjadi driver dari ridesharing services tersebut. Besar kemungkinan, mereka tergiur dengan iming-iming penghasilan yang besar dan tergoda untuk menjadi full-time driver. Sayangnya, banyak yang berpikiran serupa dan ujung-ujungnya kompetisi yang keras antar driver pun terjadi. Akibatnya, mereka lebih memilih untuk menunggu pesanan di tempat-tempat strategis dan tidak memanfaatkan waktu untuk hal lainnya.
Apa yang terjadi ini tentu berkebalikan dengan apa yang terjadi di belahan dunia lainnya, dimana para driver biasanya memang telah memiliki kendaraan sebelumnya. Jika seperti ini, sharing economy yang seharusnya bisa membantu menjadi solusi permasalahan kota justru berpotensi menambah masalah dan membuat populasi kendaraan semakin padat. Akibatnya tentu bisa ditebak, kemacetan bisa makin menjadi. Lebih-lebih, keberadaan sharing economy di Indonesia bisa menurunkan insentif bagi Pemerintah untuk segera membenahi transportasi publik, seperti yang dijelaskan oleh kawan saya disini.
Sebagai penutup, dapat kita lihat bahwa adanya teknologi sebagai enabler yang cukup vital dalam praktik sharing economy ternyata tidak serta merta mengubah paradigma masyarakat tentang bagaimana meningkatkan taraf hidup mereka. Seperti yang sudah disampaikan di awal, sharing economy sebenarnya menawarkan fleksibilitas bagi para driver sehingga mereka bisa mengutilisasi waktu mereka untuk hal-hal produktif lainnya. Harapannya jelas, mereka makin produktif, hidup senang, dan taraf hidup meningkat. Anomali yang ada di Indonesia menunjukkan pentingnya keterlibatan pemerintah dalam menyelesaikan masalah yang mungkin jauh lebih besar dari sekedar kemacetan atau transportasi publik. Terakhir, praktik sharing economy seharusnya memberikan manfaat menyeluruh kepada banyak pihak, dan bukan menimbulkan masalah-masalah baru di tengah bertumpuknya masalah di kota Jakarta.